Wakatobi – DISPARSUPTRA.ID, Desa Kulati merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Wakatobi. Ia merupakan desa terujung di Kecamatan Tomia Timur. Yang unik dari Desa ini adalah adanya budaya potapaki pada setiap momentum idul fitri.
Potapaki berasal dari kata “tapaki” yang bermakna bertanya. Kemudian mendapat awalan “po” yang artinya saling. Potapaki berarti saling bertanya atau bermusyawarah.
Dalam pengertian yang lebih luas, potapaki bermakna melakukan duduk bersama warga yang memiliki garis keturunan Desa Kulati dalam rangka rembung untuk membicarakan tentang pembangunan dan masa depan Desa Kulati.
Potapaki sendiri digelar pertama pada tahun 2006. Bermula dari adanya beberapa tokoh masyarakat setempat yang melihat, sejak Wakatobi masih menjadi bagian dari Kabupaten Buton, desa kulati kurang tersentuh dari segi pembangunannya.
Berdasarkan keperihatinan atas desa sendiri dan keinginan untuk membuat desa semakin maju dan berkembang, digelarlah Potapaki pertama pada tahun 2006 itu.
Digelar setiap tiga tahun sekali, Potapaki juga digelar agar masyarakat perantau memiliki inisiatif untuk pulang ke kampung halamannya dan merasakan suasana masa kecil. Sehingga, pada setiap tiga tahun, juga terjadi ledakan besar gelombang mudik warga desa Kulati.
Ditahun 2022, dalam hajatan ke enam, Kepala Desa Kulati, La Ode Burhanudin menyampaikan, jumlah warga perantau dari Kulati yang melakukan mudik lebaran fitri lebih dari lima ratus orang.
Kendati digelar dalam skala besar, potapaki juga sering digelar pada tiap tahunnya diluar agenda pertiga tahun oleh masyarakat setempat untuk bisa mengevaluasi perjalanan singkat progres pembangunan di desa, serta terus melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah ada.
Potapaki biasa digelar selama hari yang tidak tentu, mulai dari berjalannya bulan ramadan. Namun, jika dihitung dari hari raya idul fitri, maka potapaki ini digelar selama tiga hari.
Dilaksanakan berhari-hari, tujuannya agar selain melakukan rembuk bersama, masyarakat Desa Kulati bisa menampilkan berbagai macam kearifan lokalnya.
Pada rangkaian acara Potapaki, umumnya dilakukan kegiatan syiar islam, adat budaya, dan seni. Beberapa penampilan seni yang telah ada adalah seni tari, seni suara, seni musik.
Disepanjang bulan ramadan diisi dengan lomba-lomba syiar islam.
Digelar pula beberapa permainan dan tradisi setempat yang diperankan oleh anak-anak. Permainan yang dimainkan adalah permainan-permainan rakyat dan tradisi lokal yang sedari dahulu sering dimainkan oleh anak-anak. Dengan permainan yang diperankan anak-anak, orang dewasa dan para perantau khususnya akan bernostalgia tentang masa kecil mereka.
Selain itu, orang dewasa dan para perantau yang pulang kampung juga ikut terlibat dalam peran sebagai pemain dalam acara tersebut. Mereka melakukan pekerjaan sehari-hari yang biasa dilakukan oleh orang-orang setempat sejak masa dahulu, diantaranya adalah honenga, hebatu, dan lain-lain.
Masih dalam rangkaian acara ini, diperkenalkan pula beberapa kerajinan rakyat masyarakat Kulati sebagai penunjang ajang promosi wisata.
Pada puncaknya, hari terakhir rangkaian acara potapaki adalah musyawarah masyarakat membicarakan masa depan dan pembangunan Desa Kulati kedepannya.
Potapaki yang dilakukan dengan prosesi budaya dan mengenakan pakaian adat setempat, menjadi ciri tersendiri dalam tradisi lisan warga Kulati. Dengan menggunakan bahasa daerah, sajak-sajak dan nada yang beradab, membuat yang mendengarkan percakapan potapaki menjadi sangat tenang.
Saat melakukan musyawarah, Ketua Perantau yang berasal dari Desa Kulati bertapaki/bertanya kepada tokoh masyarakat tentang apa yang perlu dilakukan atau dibangun. Selain itu juga memberikan gambaran masukan menurut para perantau apa yang menjadi prioritas yang akan mereka lakukan.
Usai mendengarkan pertanyaan dan pernyataan dari tokoh perantau, tokoh masyarakat desa Kulati yang telah dituakan memberikan tanggapan dan masukannya. Proses tersebut terus berjalan hingga diperoleh kesepakatan, lalu diumumkan kepada seluruh warga desa kulati.
Penulis : Abdul Ganiru
Editor : Ridwan