BUTON TENGAH, Wisata tenun menjadi salah satu pilihan destinasi wisata kearifan lokal di Sulawesi Tenggara (Sultra). Jadi tidak heran beberapa kabupaten yang ada di Bumi Anoa ini menjadi sentra penghasil tenun, misalnya tenun Buton.
Tenun Buton sudah sangat sering ditampilkan pada pameran Event nasional, bahkan pada tahun 2019 lalu pernah ditampilkan dalam balutan busana di acara fashion week Jakarta.
Tapi tahukah Anda bahwa Buton Tengah (Buteng) menjadi salah satu wilayah penghasil tentun Buton di daerah ini. Ya tepatnya di Kecamatan Mawasangka Tengah yang memiliki sembilan desa dan satu kelurahan.
Di kecamatan tersebut, Anda bisa menemukan para ibu rumah tangga dan anak perempuannya dalam satu kecamatan sekitar 85 persen adalah pengrajin tenun. Kegiatan ini ditekuni mulai dari perempuan berusia 15 hingga 60 tahun.
Salah satu ciri khasnya, saat menelusuri desa yang ada di Mawasangka Tengah, Anda akan melihat sepanjang jalan para pengrajin tenun itu sedang menenun di bawah rumah atau samping rumah mereka.
Biasanya penenun mulai menenun setelah pekerjaan rumah selesai misalnya sepulang dari pasar, setelah memasak, setelah mencuci dan lain-lain. Begitu juga bagi anak-anak remaja, mereka membantu orangtuanya menenun ketika pulang dari sekolah atau saat hari libur.
Hasil tenun ini pun dipasarkan melalui penampung/pengepul yang akan dijual di seluruh daratan Sultra. Bahkan tenun khas Buton yang sering digunakan oleh penyanyi dangdut asal Baubau Fildan ternyata berasal dari Buteng.
Salah warga setempat Kamusi mengatakan, ada waktu tertentu dalam satu desa atau kampung, warga tidak boleh menenun sama sekali. Yakni ketika ada kedukaan baik kedukaan dari keluarga penenun, maupun warga yang ada di desa tersebut.
“Jadi kalau misal ada tetangga yang meninggal, kita satu desa ini tidak boleh ada yang menenun dihari itu, nanti besok lagi baru bisa dilanjutkan”, ungkapnya pada Selasa, (21/4/2020).
Kemudina, dari 9 desa yang ada di sana, Desa Lantongau memiliki jumlah pengrajin tenun terbanyak. Kegiatan menenun bagi sebagian warga desa Lantongau adalah salah satu sumber penghasilan terbesar, dikarenakan suami mereka banyak yang merantau atau bekerja sebagai petani serabutan yang berpindah-pindah tempat.
Pengurus Buton Tengah Kreatif Ramudi mengatakan, kekurangan dari dari desa itu yaitu tidak adanya pengetahuan mengenai pemasaran dan tukang jahit, sehingga para pengrajin tenun hanya bergantung pada pesanan atau dari penampung/pengepul yang dijual langsung tanpa dibuat jadi baju atau semacamnya.
Padahal apabila mereka diajarkan menjahit dan mendesain yang lebih fashionable pasti permintaan akan jauh meningkat dan dapat Mensejahterakan masyarakat desa.
“Misalnya buat baju dan tidak hanya bahan baku kain saja yanh dijual artinya ada nilai tambah,” ungkap Ramudi yang juga tokoh pemuda desa Lantongau.
Tenun Buton bukan hanya sekedar tenun yang dipakai sebagai sarung atau pakaian, tetapi juga telah menjadi identitas seseorang yang berdarah Buton. Tenun Buton selalu dipakai oleh para sejumlah tokoh dalam upacara adat. Tidak tidak hanya itu, pada zaman kerajaan, tenun ini digunakan oleh kesultanan Buton.
Kamusi bercerita, konon pada mulanya bahan dasar tenun dibuat sendiri oleh warga dari kapas yang “digantaha” hingga membentuk benang panjang, sehingga tidak ada motif pada kain tenun pertama. Jadi, dulu sarung tenun itu berwarna putih polos tanpa motif.
Seiring berkembangnya zaman, ditemukanlah pewarna alami dari pohon khusus. Sebelum adanya benang pabrikan seperti warna tenun sekarang ini, motif tenun hanya memiliki dua warna dari pewarna alami. Namun motif yang digunakan pria dan wanita juga berbeda begitupun yang digunakan oleh kesultanan Buton.
Pria menggunakan motif bergaris saling silang sehingga membentuk garis kotak-kotak, sedangkan untuk wanita yaitu hanya garis lurus memanjang tanpa membentuk garis kotak.
Menurut cerita rakyat, asal mula alat tenun pertama dimiliki secara pribadi oleh seorang perempuan kaya, namun ada pihak yang ingin mencurinya sehingga perempuan tersebut melarikan diri di sebuah gua dekat desa Gumanano yang hingga hari ini perempuan tersebut tidak ditemukan atau tidak pernah kembali, hingga akhirnya warga mencoba meniru alat tersebut dan sekarang ini telah digunakan dalam pembuatan tenun.
Nah, Kecamatan Mawasangka Tengah ini dapat menjadi alternatif tempat wisata yang mengesankan apalagi kamu yang tertarik dengan kearifkan lokal, karena kamu bisa tinggal bersama pengrajin tenun agar dapat mengikuti keseharian mereka selama menenun.
Sejarah dari tenun di Buteng memang terus berkembang di kalangan masyarakat, namun apabila tidak terjaga dan menceritakan kembali ke generasi yang akan datang, bisa saja cerita hilang dan di liputan.
Para pengrajin tenun sudah melakukan tugasnya demi menjaga kearifan lokal tersebut, lantas apa yang bisa kamu lakukan sebagai generasi Sultra ? Caranya berbanggalah mengenalkan dan menggunakan produk lokal khas daerahmu.
Penulis: Yulisnawati Abbas
Editor: Ilham Surahmin